Dilema PPTQ: Sumber Kegalauan Mahasiswa Akhir IAIN Cirebon
Saya tak tahu secara pasti, tapi yang jelas, atas semangat teologis untuk mengajarkan dan menyebarkan ayat-ayat langit, PPTQ ada untuk turut mencetak sarjana muslim yang islami pasca lulus di IAIN Cirebon. Dengan ekspektasi semacam itu, PPTQ terus meyakinkan mahasiswanya, bahwa dia adalah salah satu bagian penting dari IAIN Cirebon. Tanpa PPTQ, IAIN tak ubahnya seperti kampus-kampus sekuler lainnya, mungkin yang membedakannya adalah kerudung dan jenggotnya saja. Tanpa PPTQ, Anda berhak khawatir tidak bisa lulus kuliah. Tanpa PPTQ, jangan harap bisa mendapat beasiswa. Tanpa PPTQ, siap-siap ancaman api neraka. Sebab itulah, jika Anda mengaku mahasiswa IAIN yang beriman dan berkualitas, sertifakt PPTQ buktinya. Dan nampaknya, tanda-tanda mahasiswa IAIN yang taat dan islami pun bertambah, selain harus memakai gamis, jidat hitam, dan kerudung melebihi ukuran, satu hal lagi jangan lupa: lulus PPTQ.
Dengan bahasa normatif, PPTQ memang tidak layak dijadikan musuh bersama. Ia memiliki misi yang agung guna memastikan lulusan IAIN Cirebon, setidaknya, tidak buta al-Qur’an. Namun, perannya yang terbatas di satu sisi dan harapannya yang utopis di sisi lain menimbulkan gap komunikasi, sehingga misi agung tersebut lebih menyerupai misi linglung bagi mahasiswa IAIN sendiri. Standarisasi nilai yang kata Rhoma Irama, TERLALU, membuat Syahrini terpaksa mengatakan: Ih, bukan SESUATU banget dech. Sehingga, kantor PPTQ tiba-tiba menyerupai lokasi Uji nyali: menyeramkan.
Menurut perspektif saya yang lain, karena IAIN Cirebon adalah kampus Islam, ia seolah menjadi wajib menonjolkan simbol-simbol keislaman sebagai tempat pendidikan yang pura-pura-nya mendapat tuntunan langsung dari al-Qur’an. Ia digadang-gadang mampu menciptakan manusia dengan stempel duniawi dan surga di jidatnya: membentuk manusia yang menyaingi penyanyi dangdut, Ike Nurjanah, pacar sukses dunia-akhirat. Imbasnya, di tengah aib kampus IAIN yang bau busuknya sudah dicium banyak orang, PPTQ tetap kekeuh merias bopeng perguruan tinggi tersebut dengan bedak islami: PPTQ masih merasa pantas mengagungkan ayat-ayat al-Qur’an di lingkungan Pendidikan Islam yang terkenal korup dan semerawut. Sebuah simbiosis yang tak tahu diri: PPTQ butuh ruang untuk eksistensinya, sedangkan IAIN Cirebon butuh PPTQ sebagai simbol keislaman. Jadi, IAIN Cirebon tetap menjadi kampus islami, walau korup. Atau mungkin, kampus korup yang islami.
Menilik berbagai kasus korupsi IAIN Cirebon yang tengah menjadi trend topic Media Lokal, adalah paradoks ketika PPTQ tetap gencar membodohi mahasiswa dengan seolah-olah sok moralis. Padahal, yang lebih memerlukan itu semua adalah mereka, para elit kampus,. Mahasiswa sudah muak dijejali moralitas-moralitas islami, namun ruang di tempatnya mencari pencerahan kejadiannya berbeda dengan idealism Islam yang menjunjung tinggi moralitas dan etika.
Hegemoni PPTQ
Saking PD-nya, PPTQ lantas merasa paling penting hingga sertifikatnya menjadi syarat dari berbagai kegiatan perkuliahan. PPTQ berkeyakinan, tanpa sertifikatnya, kegiatan apapun seolah tidak di berkahi. Sehingga, untuk mendapatkan beasiswa saja, sertifikat PPTQ harus menjadi salah satu syarat. Terus terang, saya sendiri merasa heran, apa hubungannya hak seseorang mendapat beasiswa dengan sertifikat PPTQ? Apakah mahasiswa miskin selalu harus mahir baca al-Qur’an yang pentingkan maakhzrozul hurupnya benar? Jadi, jika Anda merasa tidak mampu memiliki sertifikat PPTQ, janganlah pernah berani ngaku miskin. Ironis: mau jadi orang miskin saja repot.
Selain itu, tingkat kebutuhan sertifikat PPTQ melonjak naik ketika musim KKN (Kuliah Kerja Nyata). Mirip hukum ekonomi, semakin banyak permintaan, maka harga suatu barang akan naik. Begitulah sertifikat PPTQ. Semakin banyak permintaan maka harga diri PPTQ pun akan naik. PPTQ mendadak menjadi primadona, buah bibir, pusat perhatian sekaligus mimpi buruk untuk banyak mahasiswa IAIN Cirebon. Pada titik inilah, PPTQ berhasil menjadi pelaku hegemoni, sehingga mimiliki potensi untuk kemudian menjadi sang eksploitir.
Saya tidak ingin menduga-duga ataupun mengira-ngira apa saja bentuk eksploitasinya, namun yang menjadi catatan adalah: konsentrasi, tenaga, dan mental mahasiswa akan tergerus habis oleh secarik kertas bernama sertifikat PPTQ, yang itu merupakan sebatas simbol dan tak lebih dari SKTM untuk melegalkan status orang miskin: bukan subtansi dari proses pembentukan intelektualitas dan spiritualitas.
Teman saya mengatakan, sertifikat PPTQ bukan segala-galanya, tapi segala-galanya akan berawal dari sertifikat PPTQ. Inilah saatnya PPTQ mengaca diri. Alasan teologis yang menjadi kekuatan PPTQ bertahan tanpa adanya legalitas sekalipun harus diimbangi dengan kinerja yang maksimal, sehingga tidak ada ketimpangan antara hak dan kewajibannya. Jika memang PPTQ hadir sebagai ruang pembinaan untuk baca al-Qur’an, kenapa ia tidak hadir sebagai tempat pengajaran saja, atau dijadikan mata kuliah, sehingga kewajiban dan haknya menjadi jelas. Tidak kemudian lebih menyerupai menara gading dengan produk sertifikatnya yang begitu sakral. Jika seperti itu, PPTQ tidak akan kehilangan fungsinya, dan mahasiswa tidak merasa dibebani oleh PPTQ.
*Asep Andri: Pernah menjadi mahasiswa IAIN Cirebon.
yaaaaaaaaaaahh PPTQ ayO sMangkOOOkk
BalasHapusSalam Sejawat.
BalasHapusSaya juga pernah merasakan nya "Dilema PPTQ IAIN Cirebon".